Nama :
Winda Setianingsih
NPM :
2C314267
Kelas :
1TB03
SUKU
LUBU
A. Pengertian
Suku
Lubu adalah suku yang mendiami atau menempati kawasan perbatasan Sumatera
Utara dan Sumatera Barat. Suku Lubu terutama mendiami daerah pegunungan
dari berbagai wilayah tanah Batak selatan. Populasi suku Lubu saat ini
diperkirakan lebih dari 45.000 orang. Suku Lubu merupakan “etnis kuno” yang
telah menempati wilayah mereka hari ini, jauh berabad-abad sebelum kehadiran
rumpun etnis Batak dan lainnya. Didalam pengklasifikasian ras, suku Lubu
termasuk ke dalam ras Weddoid, yaitu memiliki ciri-ciri kulit agak gelap,
rambut keriting dan badan yang kekar. Dengan ciri-ciri tersebut jelas berbeda
dengan etnis batak yang tergolong ras Mongoloid.
Akan
tetapi, setelah ribuan tahun terjadi
pembauran dengan suku Batak dan juga dengan suku Melayu, saat ini ciri-ciri
fisik suku Lubu hampir tidak dapat dibedakan dengan suku-suku batak dan suku
melayu yang hidup di sekitar pemukiman mereka. Meskipun mereka tetap mengakui
bahwa mereka merupakan suku Lubu, tetapi budaya dan adat-istiadat mereka sudah
terpengaruh secara signifikan oleh suku Mandailing dan suku Padang Lawas.
B. Kebudayaan Suku Lubu
Menurut pengamatan,
budaya dan adat-istiadat suku Lubu nampak berada di antara budaya dan
adat-istiadat suku Batak Mandailing, suku Batak Padang Lawas, serta suku
Melayu, yang hidup di sekitar wilayah pemukiman mereka. Dalam
kesehariannya, suku Lubu berkomunikasi menggunakan bahasa Lubu yang tergolong
ke dalam rumpun Protobahasa Austronesia. Bahasa Lubu banyak menyerap
perbendaharaan kata bahasa Mandailing dan bahasa Padang Lawas. Oleh karena itu
bahasa Lubu terkadang dianggap sebagai salah satu dialek dari bahasa Batak
Mandailing. Hingga saat ini, bahasa Lubu tetap berstatus sebagai bahasa
modern, karena masih digunakan sebagai alat komunikasi di antara sesama orang
Lubu.
Kesenian
suku Lubu, seperti alat musik dan lagu-lagu, banyak mengadopsi dari budaya dan
tradisi suku Batak. Orang Lubu sering menulis lagu tentang budaya mereka,
kemudian dinyanyikan di sekitar api di malam hari. Hal lain yang menarik,
adalah suku Lubu tidak memiliki tarian.
Sampai
awal abad 19, suku Lubu masih berkeliaran di pegunungan dalam keadaan liar,
yang hidup terutama di rumah-rumah pohon. Mereka menembak dengan senjata
pemukul dan panah beracun. Pakaian mereka sederhana, mereka makan semua
jenis daging dan mereka dimasak dalam bambu berongga. Kehidupan orang Lubu
telah mengalami kemajuan besar. Suku Lubu masih hidup dengan gaya hidup dasar
mereka. Seperti orang Kubu di Jambi dan Sumatra Selatan, mereka agak takut
air dan jarang mencuci, meskipun kebanyakan pemukiman mereka berdekatan dengan
sungai. Pada zaman dahulu, masyarakat Batak di sekeliling mereka sering
mencurigai mereka banyak ambil bagian dalam jenis sihir.
Saat
ini seiring dengan kemajuan zaman, orang Lubu tidak lagi hidup di atas pohon.
Mereka sekarang tinggal di gubuk yang dibangun di atas tanah. Sekelompok
rumah membentuk sebuah bandja (desa), dan sejumlah desa membentuk sebuah kuria (distrik). Kepala
dari bandja disebut na bodjo bodjo. Sebagian besar masyarakat Lubu bertahan
dengan bercocok tanam. Suku Lubu masih mengenal sistem tebang-bakar hutan untuk
membuka ladang bagi pertanian mereka. Selain bercocok tanam, sebagian dari
mereka juga bekerja pada perkebunan karet sebagai buruh. Di samping itu, mereka
juga masih memanfaatkan hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, dengan
jalan berburu dan mengumpulkan hasil hutan. Beberapa jenis hewan ternak,
seperti sapi, ayam, dan bebek juga mereka pelihara untuk menopang kebutuhan
keluarga.
C. Adat Istiadat Suku Lubu
Semua
anggota laki-laki yang lebih tua dari masyarakat (kepala keluarga) memiliki
suara dalam pemerintahan desa. Ketika sang kepala meninggal, ia digantikan
oleh putranya. Di setiap desa Lubu ada rumah-rumah komunal khusus (tawatak)
untuk anak laki-laki dan lain-lain untuk anak perempuan. Setelah usia 12
tahun, kedua jenis kelamin diharapkan untuk tidur di rumah-rumah komunal. Pernikahan
biasanya terjadi ketika anak-anak berbalik lima belas. Sebuah mahar kecil
diperlukan, tetapi orang Lubu kebanyakan tidak memiliki kemampuan untuk
membayar. Akibatnya, sebagian besar dari mereka harus bekerja selama 2
tahun untuk masa depan orang tua mertua mereka selama masa pertunangan.
SUMBER: