Merasakan Berada Di Dalam Menara
Miring Jakarta
Oleh:
Winda
Setianingsih
Ketika mendengar kalimat
“Menara Miring” pasti dibenak yang terpikirkan oleh kita adalah sebuah Menara
Pisa bersejarah yang terletak di Roma, Italia. Benar, bukan?
Menara Syahbandar, Jakarta Sumber: Dok. Pribadi, 2017. |
Bangunan
miring pasti menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan, baik lokal maupun
mancanegara. Bagaimana tidak? Pada umumnya, bangunan memiliki bentuk yang berdiri
tegak agar terlihat kokoh, akan tetapi bangunan ini miring seperti terlihat akan
roboh. Dengan rasa penasaran tinggi, banyak wisatawan yang rela jauh-jauh
datang ke Menara Syahbandar ini hanya untuk menyaksikan bangunan miring tersebut yang tentunya terdapat
sejarah didalamnya mengapa bangunan tersebut menjadi miring.
Tak
hanya Menara Pisa di Italia, di Indonesia khususnya di Jakarta, juga memiliki
bangunan miring bersejarah, yaitu Menara Syahbandar. Menara dengan dominan cat
berwarna putih ini menghadap ke arah utara. Menara ini awalnya terlihat kokoh
seperti bangunan pada umumnya. Akan
tetapi, semakin bertambahnya usia menara ini yang semakin tua dan letak menara
yang berada di pinggir aliran sungai, membuat semakin
lama terlihat semakin miring posisinya ke arah selatan karena tanah tidak
kuat menahan beban menara ini. Oleh karena itu sering dijuluki sebagai “Menara
Miring” atau “Menara Pisa Jakarta”.
Posisi Menara Syahbandar ini berada di
sisi jalan raya Pasar Ikan, dimana setiap hari padat oleh kendaraan dan tak
jarang didominasi jenis kendaraan berat seperti truk besar, sehingga menambah
beban getar menara. Menara ini juga disebut "Menara Goyang" karena
jika kita berada di dalam menara ini akan merasakan goyang ketika kendaraan
besar melewati sekitarnya. Hal itu akan sangat terasa apabila kita berada di dalam
puncak Menara Syahbandar. Untuk mencapai puncak Menara Syahbandar, kita harus
menaiki sebuah tangga dengan jumlah anak tangga sebanyak 77 dengan berbahan
kayu jati yang berlapis cat berwarna merah. Di puncak Menara Syahbandar inilah
pengunjung dapat menyaksikan teritorial kota tua Jakarta dengan hembusan angin
segar yang menyenangkan.
Ketika berada di puncak menara miring ini,
penulis sama sekali tidak merasakan kemiringan yang signifikan. Melainkan, penulis
merasakan bangunan ini miring ketika melihat Menara Syahbandar ini dari sekitar
menara ini. Kemiringan dari bangunan ini
dapat dirasakan juga ketika berada di lantai satu dan dua Menara Syahbandar
ini. Ini dibuktikan dengan ketika penulis berjalan melihat prasasti-prasasti di
Menara Syahbandar ini terasa seperti miring. Menurut pengelola setempat, Menara
Syahbandar ini dulunya merupakan menara pemancar. Maka dari itu, koleksi-koleksi yang berada di dalam Menara
Syahbandar tepatnya yang berada di lantai satu dan dua yaitu berupa prasasti-prasasti
berupa teropong-teropong yang dahulu dipakai untuk melihat kapal-kapal yang
akan berlabuh. Cukup unik, bukan? Banyak wisatawan baik lokal maupun
mancanegara sangat tertarik untuk mengunjungi
Menara Syahbandar ini, yaitu ingin merasakan miringnya bangunan ini dan
membuktikan apakah benar bangunan ini terasa miring. Akan tetapi, jika dibiarkan wisatawan tetap mengunjungi menara ini tanpa dibatasi, hal ini akan membuat Menara Syahbandar lama-lama menjadi roboh dikarenakan beban yang berlebih. Untuk itu, perlu perhatian khusus agar bangunan bersejarah ini tetap berdiri meskipun bangunannya sudah terlihat miring. Perhatian itu dapat berupa penyanggaan pada bangunan salah satunya, agar Menara Syahbandar ini tidak semakin miring.
Dengan melihat menara miring ini, juga menyadarkan
bahwa lahan di Jakarta semakin mengalami penurunan. Beruntungnya, bahan
material di menara tersebut tidak semuanya terbuat dari beton, pada bagian
lantai, tangga, dinding dan jendela puncak menara serta atapnya terbuat dari
kayu yang berlapis cat. Sehingga tidak membuat beban bangunan semakin bertambah
yang memungkinkan Menara Syahbandar akan menjadi roboh.